Tafsir Surat Al-Fatihah Part II
25 May 2022
BIRO UMROH SEMARANG RIMATOUR – Surat Al Fatihah merupakan induk dari surat-surat yang ada di Alquran. Makna dari Al-Quran terangkum dalam 7 ayat yang ada di Surat Al Fatihah. Berikut merupakan tafsir Surat Al Fatihah ayat 1-7 menurut Ibnu Katsir.(Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1).
Sebagaimana yang tertulis dalam Alquran, bahwa ayat pertama Al Fatihah merupakan bacaan Basmalah,
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Artinya: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Ada perbedaan pendapat mengenai tafsir Surat Al Fatihah ayat pertama ini, karena biasanya kalimat basmallah merupakan pemisah antar surat, sebagaimana yang diriwayatkan Abu daud dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah tidak mengetahui pemisah surat sehingga diturunkanlah bismillahirrahmaniraahim. Ibnu Abbas mengemukakan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud. “Barangsiapa yang berpandangan bahwa ia termasuk Fatihah, berarti ia berpendapat bahwa membacanya harus zahir dalam sholat, dan orang yang tidak berpendapat demikian, berarti membacanya secara sir (tidak keras).
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
Artinya: Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam,
“Segala uji kepunyaan Allah” yaitu rasa syukur yang hanya diperuntukan untuk Allah Subhanahu Wata’ala semata bukan kepada hal lain yang merupakan ciptaan-Nya. Sebab Allah telah menganugerahkan nikmat kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, bagi Rabb kitalah segala puji, baik pada masa awal maupun akhir. Huruf alif dan lam pada kalimat al hamdulillah ditunjukan untuk mencakup segala jenis pujian yang merupakan hak Allah Subhanahu Wata’ala. Sebagaimana kata Rabb yang hanya boleh ditunjukan pada Allah, bukan yang lainnya.
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ
Artinya: Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang,
Ar-Rahman Ar-Rahim menunjukkan makna “sangat”. berarti Allah menegaskan bahwa Allah merupakan pemberi rahmat di dunia dan akhirat. Allah menggunakan frase “Maha Penyayang” khusus bagi kaum mukmin, dan tidak boleh ada hambaNya yang menggunakan nama tersebut.
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ
Artinya: Pemilik hari pembalasan
Dia, Allah adalah pemilik hari dunia dan akhirat. Kata Dia kepada hari akhirat disebabkan di sana tidak ada siapapun selain Allah Subhanahu Wata’ala yang mengklaim akhirat sebagai miliknya dan tiada seorangpun yang dapat berbicara melainkan atas izin Nya.
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
Artinya: Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Kata iyyaka merupakan objek yang didahulukan untuk tujuan pembatasan supaya tujuan pembicara fokus pada apa yang akan diutarakan. Kalimat “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah” kalimat ini menunjukkan penyucian diri dari kemusyrikan. Kalimat “Hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” merupakan penyucian dari apa yang telah diusahakan dengan menyerahkan segala hanya kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung.
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Ayat ini mengandung dalil yang menganjurkan ber-tawassul dengan sifat-sifat yang tinggi dan amal saleh. Setelah seorang hamba mengagungkan sifat Allah dan beramal saleh untuk Allah, kemudian ia memohon akan kebutuhannya.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ
Artinya; (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Pada kalimat “Jalannya orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” menafsirkan “Jalan yang lurus”. Jalan yang telah diberi nikmat yaitu jalan orang-orang yang telah menaati Allah dan RasulNya. Penggalan “Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” Hal ini merupakan orang-orang yang mengingkari perintah Allah dan ajaran para RasulNya. Mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan mengikuti kesesatan, mereka itu adalah orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala.
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.